Penangkapan 10 massa aksi AMANAT Oleh ‎Polres Bima Dianggap Sebagai Bentuk Anarkisme Demokrasi

Bima, Salam Pena News ~ Ketua Umum ikatan Mahasiswa Monta Dalam-Mataram (IMMADA) Mataram, Wahidin menilai penangkapan secara paksa dan melakukan tindakan represif terhadap massa aksi menunjukkan bahwa kepolisian sudah menjadi bagian dari permainan politik Pemerintahan yang memang tidak menyukai gerakan yang di lakukan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat monta selatan. Minggu (15/05/2022).

Penahanan serta penetapan masa aksi sebagai tersangka dalam aksi demonstrasi itu tidak benar. Masa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Monta Selatan (AMANAT) itu yang menuntut perbaikan infrastruktur jalan itu melalui pemberi Tahuan surat ijin. Kemudian diberikan pemberitahuan juga terkait aksi yang akan berjilid jilid.

Dalam surat pemberitahuan penyidik yang telah melakukan penyelidikan tertanggal 12 Mei tersebut dengan rujukan pasal 109 ayat 1 KUHP, undang undang republik Indonesia nomor 02 tahun 2002 tentang kepolisian negara republik Indonesia, perkap Kapolri nomor 06 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana. Mestinya harus di cermati dengan sebaik baik mungkin.

Bacaan Lainnya

Baca : IMKOBI Mataram Kecam Polres Bima

Dalam keterangan pasal 109 ayat 1 KUHP “(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”.

Dalam keterangan pasal tersebut yang di lakukan penyelidikan oleh penyidik iyalah adanya tindak pidana, sementara aksi masa yang dilakukan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana melainkan itu bagian dari menyampaikan pendapat di muka umum secara lisan dan tulisan. Rujukannya iyalah pasal 28 UUD 1945.

Dalam hal pemblokiran jalan mesti di ingat, bahwa ada undang-undang yang mengatur tentang jalan itu sendiri, sebagaimana dalam keterangan undang undang no 38 tahun 2004 dalam pasal 63 terdapat sanksi pidana terhadap orang yang mengganggu fungsi jalan secara sengaja.

Pasal 63 ayat 1 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Baca : BEM Nusantara Sikapi Kasus Penahanan 10 Mahasiswa Monta

Pasal 192 KUHP “Barang siapa dengan sengaja menghancurkan, membikin tak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk lalu lintas umum, atau merintangi jalan umum darat atau air, atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan atau jalan itu, diancam:

dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu lintas,
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu lintas dan mengakibatkan orang mati.

Penerapan pasal 192 KUHP Jo pasal 63 tersebut, artinya penetapan tersangka yang di lakukan oleh pihak penegak hukum terhadap masa aksi yang di tangkap itu menciderai demokrasi dan salah sasaran.
Pemblokiran jalan itu atas dasar kepentingan umum dimana infrastruktur jalan salah satu akses yang di lewati oleh masyarakat sehari hari untuk mencari nafkah dan meningkatkan perekonomian, tuntutan aksi masa itu bukan atas dasar kesengajaan melainkan atas dasar kepentingan banyak orang dan tidak menimbulkan bahaya bagi orang.

Bahkan dalam aksi mahasiswa tersebut tidak melakukan kerusakan atau menghancurkan dan merusak bangunan, masa aksi melakukan blokir jalan itu atas dasar kepentingan umum guna untuk di perbaiki jalan yang rusak agar bisa di lewati oleh masyarakat yang bukan hanya wilayah Monta selatan saja.

Lalu, kewenangan dari penyidik melakukan penyelidikan tindak pidana pemblokiran jalan tersebut apakah ada perbuatan pidana yang di hasilkan?

Ini yang mesti penegak hukum cermati, jangan sampai penetapan tersangka yang dilakukan oleh pihak kepolisian tersebut mengundang instabilitas dan mosi tidak percaya terhadap penegakan hukum..

Sementara, disisi lain penegakan hukum melakukan pembubaran paksa terhadap masa aksi sekaligus melakukan tindakan represifitas tersebut apakah itu bisa di benarkan.? Sementara dalam kondisi pembubaran paksa tersebut masa aksi tidak sama sekali melakukan perlawanan dan tindakan yang mengakibatkan kericuhan bersama masyarakat maupun pihak kepolisian. Justru yang ada pihak kepolisian dalam aksi jilid 4 melakukan represifitas terhadap masa aksi.

Dalam konferensi pers kepolisian mengatakan bahwasanya masa aksi sempat di peringatkan tapi tidak mau dan melakukan perlawanan itu tidaklah benar. Sementara Dalam Vidio yang beredar justru terjadi pembubaran paksa dan aksi represifitas.

Ini adalah salah satu anomali penegakan hukum kita. Kepentingan banyak orang yang menjadi prioritas masa aksi justru di tandai dengan tindakan pidana, sementara pihak kepolisian yang melakukan pembubaran paksa dan represifitas terhadap masa aksi tidak di persoalkan.

Baca : Mahasiswa dan Masyarakat Monta Selatan Boikot Jalan Tuntut Perbaikan Infrastruktur

Berikut pernyataan sikap lengkap IMMADA-Mataram:

1.Mendesak Kapolda NTB untuk menertibkan Kapolres Se-NTB hingga memberikan sanksi keras kepada Oknum Kepolisian yang telah melakukan tindakan Pelanggan Hukum (Represifitas)
2. Bebaskan massa aksi aliansi mahasiswa pemuda dan masyarakat monta selatan yang di tahan tampa syarat

IMMADA-MATARAM mengutuk keras upaya paksaan dan tindakan represif yang di lakukan oleh aparat Kepolisian Polres Bima terhadap massa aksi aliansi mahasiswa dan masyarakat monta selatan

Upaya paksa tersebut bertentangan dengan standar penindakan dan penangkapan sebagaimana diatur dalam peraturan internal kepolisian .

Penangkapan ini mengandung unsur politik dan upaya sistematis mendiskreditkan massa aksi yang ada di monta selatan. Sebaiknya pihak kepolisian segera membebaskan para aktivis tersebut, dan fokus tuntaskan proses tuntutan massa aksi.

Sebagai bagian dari soldaritas perjuangan, dengan tegas ketua Umum IMMADA-Mataram mengutuk keras tindakan aparat kepolisian tersebut. Jika tidak lepaskan tanpa syarat artinya pemerintah sedang menarik keluarga besar ikatan mahasiswa monta Dalam-Mataram untuk menyerbu kantor polri Bima dan polda NTB .

(EB)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *