Oleh: Muh. Fitrah (Dosen, Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Yogyakarta, Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Lurah Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) 3.0 Universitas Negeri Yogyakarta)
Bima, Salam Pena News ~ Masalah sampah bukan sekadar persoalan estetika kota, tetapi juga mencerminkan efektivitas tata kelola pemerintahan serta visi pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya. Sayangnya, banyak kota di Indonesia, termasuk Kota Bima, masih menerapkan kebijakan yang bersifat reaktif dan temporer, lebih menonjolkan pencitraan dibanding membangun sistem yang efektif dan jangka panjang. Pembersihan kota sering kali dilakukan hanya menjelang kunjungan pejabat atau acara tertentu, sementara dalam keseharian, sampah tetap berserakan tanpa pengelolaan yang sistematis dan berbasis keberlanjutan.
Padahal, regulasi terkait pengelolaan sampah telah tersedia. Peraturan Wali Kota Bima Nomor 28 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah serta Peraturan Gubernur NTB Nomor 14 Tahun 2020 telah mengatur berbagai strategi, termasuk sistem pengumpulan sampah, pembangunan infrastruktur pengelolaan, insentif, dan retribusi. Regulasi ini memberikan pijakan yang jelas mengenai tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam mengelola sampah secara berkelanjutan. Namun, tantangan terbesar adalah lemahnya implementasi dan kurangnya kesadaran bahwa regulasi ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan bagian dari strategi keberlanjutan kota yang membutuhkan keterlibatan semua pihak. Kebijakan yang dijalankan dengan niat membangun kota dengan hati akan melahirkan sistem yang tidak hanya bersih secara fisik, tetapi juga menyejahterakan masyarakat.
Sampah diartikan sebagai bahan atau material yang tidak lagi dibutuhkan oleh pemiliknya dan dibuang. Ini termasuk berbagai jenis limbah, baik dari rumah tangga, industri, maupun komersial (Pardini et al., 2020). Menurut Supriyadi et al. (2020), sampah adalah semua material padat dan semi-padat yang dibuang, termasuk limbah domestik seperti sampah makanan, kertas, plastik, dan barang-barang yang tidak terpakai. Kota Bima menghasilkan 80,68 ton sampah per hari (Data Sekda Kota Bima, 2024), yang seharusnya dapat dikelola secara produktif. Jika diasumsikan bahwa setidaknya 30% dari total sampah tersebut berupa material yang dapat didaur ulang seperti plastik, kertas, dan logam, maka sekitar 24,2 ton per hari berpotensi memiliki nilai ekonomi. Dengan harga rata-rata material daur ulang seperti plastik dan kertas di pasar sekitar Rp 2.000–5.000 per kg, potensi ekonomi yang dapat diperoleh dari daur ulang sampah di Kota Bima bisa mencapai Rp 48 juta hingga Rp 121 juta per hari atau Rp 1,44 miliar hingga Rp 3,63 miliar per bulan.
Berdasarkan penelitian, potensi nilai material daur ulang di kota-kota lain, seperti Semarang, bisa mencapai Rp 6 miliar per tahun (Supriyadi et al., 2020). Ini menunjukkan bahwa jika dikelola dengan sistem yang tepat, sampah bukan hanya masalah, tetapi juga sumber daya ekonomi. Program bank sampah yang diterapkan di Bandung dan Padang telah membuktikan bahwa masyarakat dapat terlibat aktif dalam memilah sampah dengan insentif yang menarik (Muliawaty et al., 2022). Namun, di banyak daerah, program serupa sering kali mati suri akibat kurangnya dukungan dan insentif yang memadai bagi pengelolanya. Implementasi program bank sampah (Raharjo et al., 2017) telah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah dari tingkat rumah tangga. Masyarakat diharapkan dapat memilah sampah dan mengelolanya dengan lebih baik, tetapi insentif bagi pengelola bank sampah masih belum memadai.
Regulasi Harus Berjalan dengan Infrastruktur yang Tertata dan Bernilai Keberlanjutan
Untuk membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan, diperlukan infrastruktur yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat pembuangan, tetapi juga pusat pengolahan yang menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat. Regulasi yang sudah ada harus diiringi dengan perencanaan infrastruktur yang memiliki visi jangka panjang. Langkah konkret yang dapat diambil oleh pemerintah ialah:
1. Maksimalisasi Infrastruktur TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) sebagai Solusi Ekonomi dan Ekologi
TPST harus lebih dari sekadar tempat transit sampah, tetapi TPST dikembangkan menjadi pusat pengolahan energi yang menghasilkan listrik bagi kota. Di Kota Bima, TPST dapat didesain ulang agar memilah dan mendaur ulang sampah plastik, mengolah limbah organik menjadi kompos. Dengan demikian, TPST bukan hanya solusi limbah, tetapi juga aset ekonomi dan ekologi bagi kota.
2. “Gerakan Nol Sampah Mataroa” Secara Konsisten
Pemerintah harus memastikan bahwa “Gerakan Nol Sampah Mataroa” tidak hanya menjadi slogan atau proyek dokumen, tetapi benar-benar diterapkan dalam kebijakan sehari-hari. Hal ini bisa dimulai dengan penerapan sistem pemilahan sampah di setiap rumah tangga, program edukasi intensif, serta pengawasan yang berkelanjutan terhadap pengelolaan sampah di sektor publik dan swasta.
3. Optimalisasi Bank Sampah dengan Insentif yang Berkelanjutan
Program bank sampah harus didukung dengan insentif konkret yang berkelanjutan, seperti subsidi listrik, pengurangan pajak daerah, atau pertukaran dengan kebutuhan pokok. Kota Surabaya telah berhasil menerapkan sistem pembayaran transportasi umum dengan sampah plastik, yang tidak hanya mengurangi sampah tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat. Skema ini dapat diadopsi dan disesuaikan dengan karakteristik sosial ekonomi Kota Bima.
4. Pemberlakuan Sanksi dan Insentif bagi Masyarakat serta Pelaku Usaha
Regulasi yang ada harus ditegakkan dengan konsisten. Misalnya, restoran dan pasar tradisional dapat dikenakan denda jika tidak memiliki sistem pengelolaan sampah sendiri. Sebaliknya, bisnis yang menerapkan sistem pengelolaan sampah yang baik bisa mendapatkan potongan pajak daerah atau insentif lainnya.
5. Sosialisasi Berbasis Edukasi yang Konsisten dan Menyenangkan
Sosialisasi tentang pengelolaan sampah harus dilakukan dengan pendekatan edukatif yang berkelanjutan dan menarik. Program “Recycling Roadshow” yang telah berhasil di negara-negara Eropa dapat diadaptasi di Kota Bima. Program ini berfokus pada pendidikan langsung ke masyarakat, terutama di sekolah, agar budaya memilah sampah menjadi kebiasaan sehari-hari (Grodzińska-Jurczak et al., 2003; Chung & Lo, 2004).
6. Pembentukan Kelompok Pemuda Pelaksana “Gerakan Nol Sampah Mataroa” dengan Insentif Beasiswa Pendidikan Tiap Kelurahan.
Pemerintah Kota dan kelurahan dapat membentuk kelompok pemuda sebagai pelaksana utama “Gerakan Nol Sampah Mataroa” di setiap kelurahan. Kelompok ini berperan dalam mengedukasi masyarakat, mengelola bank sampah, serta mengawal sistem pemilahan dan daur ulang. Sebagai bentuk apresiasi, pemerintah dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi di Kota Bima, seperti Universitas Muhammadiyah Bima, Universitas Nggusu Waru, dan Universitas Mbojo Bima, untuk memberikan beasiswa pendidikan bagi pemuda yang aktif dalam program ini. Selain beasiswa, insentif lain berupa sertifikasi keterampilan, peluang kerja didinas terkait di bidang lingkungan, atau dukungan modal usaha berbasis daur ulang juga dapat diberikan.
Membangun Kota dengan Akal Budi yang Menggembirakan
Mengelola kota bukan hanya soal menegakkan aturan, tetapi juga membangun ekosistem yang harmonis dan menggembirakan. Jika kebijakan sampah dikelola dengan akal budi yang baik, kota tidak hanya akan bersih tetapi juga lebih layak huni. Infrastruktur yang dirancang dengan hati akan membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat, dari lingkungan yang lebih sehat hingga peluang ekonomi baru. Kota yang dikelola dengan hati akan menciptakan kebahagiaan bagi warganya karena mereka merasa menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan yang dipaksakan.
Saatnya berhenti sekadar membuat aturan tanpa tindakan nyata. Pemerintah harus membuktikan bahwa mereka benar-benar ingin membangun kota dengan hati, bukan sekadar mengejar estetika sementara. Jika Kota Bima (dan kota-kota lainnya) ingin menjadi kota yang bersih dan sehat, maka langkah konkret harus segera diambil. Jangan hanya mengejar tampilan luar, tetapi bangunlah sistem yang dapat diwariskan untuk generasi mendatang.
Bacaan
Chung, S. S., & Lo, C. W. (2004). Waste management in Guangdong cities: the waste management literacy and waste reduction preferences of domestic waste generators. Environmental Management, 33, 692-711.
Grodzińska-Jurczak, M., Tarabuła, M., & Read, A. D. (2003). Increasing participation in rational municipal waste management—a case study analysis in Jaslo City (Poland). Resources, Conservation and Recycling, 38(1), 67-88.
Raharjo, S., Matsumoto, T., Ihsan, T., Rachman, I., & Gustin, L. (2017). Community-based solid waste bank program for municipal solid waste management improvement in Indonesia: a case study of Padang city. Journal of Material Cycles and Waste Management, 19(1), 201-212.
Supriyadi, S., Kriwoken, L. K., & Birley, I. (2000). Solid waste management solutions for Semarang, Indonesia. Waste Management & Research, 18(6), 557-566.
Pardini, K., Rodrigues, J. J., Diallo, O., Das, A. K., de Albuquerque, V. H. C., & Kozlov, S. A. (2020). A smart waste management solution geared towards citizens. Sensors, 20(8), 2380.
Muliawaty, L., Firdausijah, R. T., & Achmad, W. (2022). Implementation of Waste Management Policies by the Main Waste Bank in Realizing the Effectiveness of the Waste Program in the City of Bandung. Res Militaris, 12(2), 1906-1913.