Oleh: Muh. Fitrah (Dosen, Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Yogyakarta, Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Lurah Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) 3.0 Universitas Negeri Yogyakarta)
Kota Bima kembali menghadapi kenyataan pahit, Pendapatan Asli Daerah (PAD) gagal mencapai target. Tahun 2023, realisasi PAD hanya Rp 54 miliar dari target Rp 62 miliar, meninggalkan defisit Rp 8 miliar. Ini bukan kegagalan pertama. Pada 2021, PAD hanya mencapai 79,78% dari target Rp 58 miliar, dan tahun 2022, realisasinya hanya 84,23% dari target Rp 68 miliar. Tren ini mencerminkan kegagalan sistematis dalam tata kelola keuangan daerah yang terus berulang tanpa solusi konkret.
Ironisnya, ada sektor yang justru menunjukkan kinerja baik. RSUD Kota Bima, misalnya, mampu melampaui target hingga 108%, dengan realisasi Rp 9,6 miliar dari target Rp 8,9 miliar. Ini membuktikan bahwa dengan manajemen yang tepat, target PAD bukan hanya dapat dicapai, tetapi juga dilampaui. Namun, sektor lain seperti Dinas Perhubungan, Dinas Koperindag, Dinas Pariwisata, dan Dinas Kesehatan justru gagal total, hanya mampu mencapai sekitar 50% dari target.
Salah satu kebocoran terbesar berasal dari sektor parkir yang dikelola oleh Dinas Perhubungan. Parkir liar dan pungutan liar masih menjadi masalah klasik yang tak terselesaikan. Transparansi anggaran pun menjadi pertanyaan besar, dan publik berhak menuntut akuntabilitas dari pemerintah daerah.
Mengapa RSUD bisa mencapai target sementara Dishub dan sektor lain gagal? Ini bukan soal ketidakmampuan semata, tetapi soal kemauan politik dan lemahnya pengawasan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah akan semakin runtuh. Pemimpin daerah harus bertindak tegas: kepala OPD yang gagal mencapai target harus dievaluasi, bahkan dicopot dari jabatannya. Reshuffle birokrasi harus berorientasi pada kinerja dan kepentingan publik, bukan sekadar rotasi tanpa tujuan jelas.
Gaji Honorer Sudah Dianggarkan, Tapi Pengangkatan Ditunda, Apa Langkah Pemkot?
Di tengah persoalan PAD yang terus merosot, 1.197 Calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (CPPPK) Kota Bima masih menghadapi ketidakpastian. Pemerintah kota telah menganggarkan Rp 70 miliar untuk gaji mereka, tetapi pengangkatan justru ditunda oleh pemerintah pusat. Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Pemkot hanya akan pasrah, atau mencari solusi konkret?
Tenaga honorer bukan sekadar angka dalam laporan anggaran, tetapi individu yang telah bertahun-tahun mengabdi bagi masyarakat. Mereka adalah guru yang mendidik generasi penerus, tenaga kesehatan yang bekerja di garis depan, serta pegawai administratif yang menopang birokrasi. Ketidakjelasan status mereka berdampak langsung pada kesejahteraan pribadi dan kualitas layanan publik secara keseluruhan.
Dhobith (2024) mengungkapkan bahwa permasalahan gaji guru honorer di Indonesia terjadi akibat tumpang tindih regulasi dan kurangnya sinergi antara kebijakan pusat dan daerah. Hal ini diperburuk oleh ketidakjelasan sumber pembiayaan gaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sementara itu, penelitian Rosser & Fahmi (2018) menunjukkan bahwa kesejahteraan guru sangat dipengaruhi oleh kebijakan pendidikan dan pengelolaan anggaran di tingkat daerah.
Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menemukan bahwa 42% guru memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan, dan 13% di bawah Rp 500 ribu per bulan. Bahkan, 55,8% guru harus mencari pekerjaan sampingan demi mencukupi kebutuhan hidup. Jika pemerintah daerah serius dalam memperjuangkan hak tenaga honorer, maka Wali Kota dan perangkat birokrasinya harus mengambil langkah konkret: mendesak pemerintah pusat, mengintensifkan komunikasi dengan DPRD dan kementerian terkait, serta memastikan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan guru honorer.
Seperti yang dikatakan Sugianto et al. (2024), peningkatan anggaran pendidikan dan kesejahteraan guru harus menjadi prioritas dalam perencanaan anggaran daerah. Jika pemimpin daerah hanya berdiam diri, maka ketimpangan ini akan semakin melebar, memperburuk kondisi guru honorer yang sudah lama berada dalam ketidakpastian.
Evaluasi dan Tindak Lanjut: Jangan Hanya Janji, Segera Bertindak!
Kota Bima telah berada di bawah kepemimpinan yang pernah menjabat sebagai Wakil Walikota, untuk itu tentu pemimpin saat ini bukanlah orang baru dalam birokrasi. Dengan pengalaman panjang yang dimiliki, seharusnya akan lebih siap menyelesaikan masalah klasik seperti kebocoran PAD dan tenaga honorer yang terabaikan. Langkah-langkah kecil yang harus segera dilakukan dan evaluasi untuk hal ini ialah:
Audit Total Sumber PAD yang Bermasalah, pemkot harus segera melakukan audit menyeluruh terhadap sektor-sektor yang menjadi titik rawan kebocoran, terutama Dishub yang selama ini menjadi sorotan dalam pengelolaan parkir dan retribusi. Transparansi anggaran wajib dijadikan prioritas agar masyarakat mengetahui ke mana uang mereka mengalir.
Refocusing Anggaran untuk Tenaga Honorer, jika PAD terus gagal mencapai target, maka anggaran yang tidak produktif harus dialihkan untuk kesejahteraan tenaga honorer. Pos-pos anggaran tidak esensial, seperti perjalanan dinas dan pengadaan kendaraan dinas, harus dipangkas. Seperti yang ditegaskan Rosser & Fahmi (2018), refocusing anggaran bertujuan untuk memastikan bahwa dana dialokasikan ke sektor yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Revitalisasi Sektor Pariwisata sebagai Sumber PAD yang Subur, Kota Bima memiliki potensi pariwisata yang besar, tetapi selama ini sektor ini dibiarkan stagnan. Dengan pengelolaan yang lebih profesional dan promosi yang tepat, pariwisata dapat menjadi sumber PAD utama yang menopang Kota Bima.
Pemimpin Baru, Ujian Pertama: Berani Bertindak atau Hanya Retorika?
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (As-Saff ayat 2-3).
Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bima kini menghadapi ujian nyata. Apakah mereka akan sekadar meneruskan kebiasaan lama yang penuh kebocoran dan ketidakpedulian, atau berani mengambil langkah nyata untuk memperbaiki tata kelola keuangan daerah?. Rakyat tidak butuh janji kosong. Mereka ingin melihat hasil nyata. Jika PAD terus dibiarkan menguap tanpa pengawasan ketat, dan tenaga honorer terus terlunta-lunta tanpa kepastian, maka jangan salahkan rakyat jika kepercayaan terhadap pemerintahan semakin runtuh.
Seperti yang dikatakan Brunner, Hyman, & Ju (2020), kesejahteraan guru yang lebih baik, melalui kompensasi yang layak dan sumber daya yang memadai, akan meningkatkan kualitas pengajaran secara keseluruhan. Sulasmi et al. (2023) juga menegaskan bahwa alokasi anggaran pendidikan yang tidak merata di berbagai daerah hanya akan memperburuk ketidaksetaraan akses pendidikan.
Tidak ada kata terlambat. Saatnya pemerintah daerah menunjukkan keberpihakan yang nyata kepada guru dan memastikan PAD tidak lagi bocor sia-sia. Perjalanan menuju kesejahteraan guru memang panjang, tetapi harapan selalu ada jika komitmen semua pihak terus dijaga. Pada akhirnya, guru yang sejahtera akan melahirkan generasi cerdas dan berdaya saing. Kota Bima harus berani berubah!
Bacaan
Sulasmi, E., Prasetia, I., & Rahman, A. A. (2023). Government Policy Regarding Education Budget on The Posture of The State Budget (APBN). Journal for Lesson and Learning Studies, 6(1), 142-151.
Brunner, E., Hyman, J., & Ju, A. (2020). School finance reforms, teachers’ unions, and the allocation of school resources. Review of Economics and Statistics, 102(3), 473-489.
Dhobith, A. (2024). Analisis Kebijakan Gaji Guru Honorer terhadap Kesejahteraan Hidup Guru Honorer di Indonesia. PARAMUROBI: JURNAL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, 7(1), 44-62.
Sugianto, C., Hartiwiningsih, H., & Karjoko, L. (2024). Education Budget Allocation in the Constitution: A Concept, Challenge and Opportunity. In International Conference on Cultural Policy and Sustainable Development (ICPSD 2024) (pp. 212-219). Atlantis Press.
Rosser, A., & Fahmi, M. (2018). The political economy of teacher management reform in Indonesia. International journal of educational development, 61, 72-81.